80 Tahun Merdeka, Sudahkah “Keadilan” Dirasakan Rakyat Kecil?
Faktamuaraenim.com – Merdeka, merdeka, merdeka! Bendera berkibar, upacara digelar, pidato penuh semangat diperdengarkan, disertai perlombaan penuh euforia kemenangan. Namun, satu pertanyaan menggelitik nurani kita: sudahkah rakyat kecil benar-benar merasakan “keadilan” yang dijanjikan kemerdekaan?
Konstitusi sejak awal menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Dalam negara hukum, setiap warga negara sejatinya mendapat perlakuan yang sama. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…”. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 006/PUU-II/2004 bahkan menekankan bahwa prinsip equality before the law tidak boleh berhenti di atas kertas, tetapi harus hadir secara nyata. Pertanyaannya: sudahkah prinsip ini benar-benar menjadi kenyataan?
Fakta di lapangan justru menunjukkan wajah lain. Rakyat kecil kerap menjadi pihak paling rentan di hadapan hukum. Kita mungkin masih ingat kasus nenek Minah yang diproses hukum hanya karena mengambil tiga buah kakao, atau kisah pendemo yang “bersuara keras” namun dibungkam dengan pentungan aparat. Sementara itu, kasus korupsi dengan kerugian negara miliaran rupiah bisa berakhir dengan Abolisi atau Amnesti. Di manakah letak keadilan?
Sesungguhnya hukum tidak tinggal diam. UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menegaskan bahwa masyarakat miskin berhak atas pendampingan hukum yang dibiayai negara. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahkan mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi yang tidak mampu. Sumpah advokat pun mengikat: “…akan menjalankan profesi dengan jujur, adil, dan bertanggung jawab…”. Tetapi, apakah ketentuan ini sudah sungguh diimplementasikan? Ataukah hanya segelintir orang yang benar-benar merasakan manfaatnya?
Profesi hukum—terutama advokat—memegang peranan penting. Bantuan hukum pro bono bukan sekadar formalitas laporan tahunan, melainkan ruh dari profesi yang mengemban misi mulia: membela yang lemah. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 144 K/AG/2007 menegaskan bahwa pengadilan wajib memastikan semua pihak, termasuk yang tidak mampu, memiliki akses setara dalam mencari keadilan. Bahkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 100/PUU-X/2012 menegaskan bahwa bantuan hukum adalah instrumen konstitusional demi menjamin akses keadilan. Namun, mari kita jujur: apakah semua ini sudah benar-benar dijalankan, atau masih sebatas janji normatif?
Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari ketidakadilan. Apalah arti 80 tahun merdeka bila rakyat kecil masih gentar melangkah ke pengadilan karena takut biaya dan prosedur? Apalah arti perayaan kemerdekaan bila hukum masih dirasakan sebagai milik orang “berada”, bukan pelindung semua golongan?
Saatnya kita menjadikan pro bono dan prodeo bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi panggilan hati. Negara harus memperluas distribusi bantuan hukum hingga ke pelosok, advokat harus kembali ke ruh profesinya, dan masyarakat sipil harus mengawasi agar keadilan tidak berhenti di seminar hukum, tetapi benar-benar hadir di ruang-ruang peradilan.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momentum refleksi sekaligus aksi. Mari kita jawab bersama pertanyaan besar itu: sudahkah rakyat kecil merasakan keadilan? Jika jawabannya belum, maka tugas kitalah untuk memastikan ke depan keadilan bukan lagi sekadar kata indah dalam konstitusi, melainkan kenyataan yang hidup di tengah rakyat. Sebab kemerdekaan tanpa keadilan hanyalah kemerdekaan yang hampa—dan sekaranglah waktunya kita mengisinya dengan perjuangan nyata.
Penulis oleh: Abdi Persada (Advokat)