Corong Undang-Undang di Era AI: Antara Kepastian dan Keadilan Hukum
(Menimbang Presisi Algoritma dan Penafsiran Manusia)
Faktamuaraenim.com – Istilah “hakim sebagai corong undang-undang” pertama kali muncul dari gagasan Montesquieu: hakim ibarat mulut yang hanya mengucapkan kata-kata undang-undang, tanpa menambah atau menguranginya. Di Indonesia, prinsip ini menguat dalam kerangka hukum positif yang menjunjung kepastian hukum. Namun, sejarah peradilan kita menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks, hakim sering berada di persimpangan antara ketaatan pada teks dan pencarian rasa keadilan.
Perkembangan teknologi memperumit persimpangan ini. _Artificial Intelligence_ (AI) yang dulu sekadar fantasi fiksi ilmiah, kini hadir nyata di ruang praktik hukum: mulai dari _ChatGPT_ , mesin pencari pintar, sampai dengan perangkat analisis putusan yang bisa mengolah ribuan dokumen dalam hitungan detik. Saya pernah mendengar cerita dari rekan Pengacara yang kalah cepat oleh sistem AI milik kliennya, sebelum ia sempat membuka kitab undang-undang, AI sudah menampilkan daftar pasal dan yurisprudensi yang relevan.
Secara teknis, AI unggul dalam presisi dan konsistensi. Algoritma dapat meminimalkan bias personal, meski tetap terikat pada data latih yang digunakan. Hakim bekerja dengan cara berbeda: memadukan logika hukum, intuisi profesional, dan pembacaan terhadap nilai kemanusiaan serta fakta persidangan. AI tidak lelah dan tak punya “ _mood swing_ ”, tetapi juga tak bisa membaca bahasa tubuh saksi atau menangkap nuansa sosial yang tak tertulis.
Coba bayangkan perkara narkotika di kota kecil. AI bisa menunjukkan tren bahwa hukuman di kota itu cenderung lebih ringan dibanding kota besar. Angka-angka ini berguna, akan tetapi AI tidak tahu bahwa kota kecil tersebut sedang dilanda krisis moral akibat maraknya perekrutan anak-anak oleh pengedar. Hakim setempat bisa menimbang bahwa vonis lebih berat akan membawa efek jera, tersirat sebuah dimensi yang tak tertangkap oleh nilai statistik semata.
Di sisi lain, menutup mata dari data presisi yang ditawarkan AI juga “berisiko”. Mengabaikan tren dan pola yang objektif bisa melahirkan inkonsistensi putusan, bahkan meruntuhkan kepercayaan publik. Sebaliknya, hanya mengandalkan insting tanpa dukungan data dapat memicu _judicial error_ yang mencoreng wajah peradilan.
Persoalan inti bukanlah memilih salah satu, tetapi menjembatani dua kutub: data- _driven justice_ yang ditawarkan AI dan _value-based justice_ yang diemban hakim. AI dapat menjadi “asisten riset” yang setia, menyodorkan tren dan analisis, sementara hakim memegang kemudi, mempertimbangkan nilai, konteks, dan dampak sosial. Seperti pepatah, “Pisau tajam pun butuh tangan yang bijak untuk menggunakannya.”
Karena itu, literasi teknologi dapat menjadi keterampilan wajib bagi para praktisi hukum. Hakim, jaksa, advokat, semuanya perlu mampu membaca _output_ AI dan mengolahnya dengan kearifan. Mereka tidak boleh sekadar menjadi “corong undang-undang” yang kaku, melainkan pengambil keputusan yang cerdas dengan memanfaatkan teknologi.
Jika AI dapat membaca hukum tanpa bias, dan hakim dapat membaca sikap dan hati manusia, mengapa tidak kita padukan saja?. Pada akhirnya, yang kita cari bukan sekadar hukum yang pasti, tetapi hukum yang pasti sekaligus adil.**
Penulis : Abdi Persada Daim.
Advokat / Pengacara.