Distorsi Keadilan dalam Bingkai Kekuasaan
(Refleksi Kritis atas Pemberian Pengampunan pada Koruptor)
Faktamuaraenim.com – Abolisi dan Amnesti merupakan dua mekanisme hukum yang sah secara konstitusional. Keduanya diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan hak prerogatif Presiden untuk memberikan Abolisi dan Amnesti dengan pertimbangan DPR. Instrumen ini biasanya diterapkan dalam konteks rekonsiliasi politik atau penyelesaian konflik yang berakar dalam pertentangan ideologi.
Namun, ketika pemberian Abolisi atau Amnesti diarahkan pada pelaku tindak pidana korupsi, muncul persoalan serius yang tidak hanya menyangkut hukum, tetapi juga menyentuh rasa keadilan publik. Korupsi bukan delik biasa, tetapi termasuk dalam kategori extraordinary crime yang dampaknya sangat merusak tatanan sosial dan ekonomi. Maka, jika “pengampunan” diberikan kepada koruptor demi alasan stabilitas negara atau kompromi politik, bukankah ini justru menginjak-injak prinsip keadilan yang seharusnya berlaku sama bagi semua?.
Bahwa sebagai warga negara biasa, banyak masyarakat sulit memahami logika dari pemberian pengampunan ini. Bukankah seharusnya koruptor dihukum, bukan dimaklumi?.
Dalam konteks hukum pidana nasional, korupsi diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini menegaskan pentingnya penindakan yang tegas terhadap korupsi sebagai upaya menjaga integritas lembaga publik dan kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Pemberian Abolisi atau Amnesti kepada pelaku korupsi juga berisiko mengingkari asas non-retroaktif punishment dan prinsip due process of law, karena memberi perlakuan istimewa kepada pelaku kejahatan berat atas dasar pertimbangan politik. Hal ini bertentangan dengan semangat negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, di mana hukum seharusnya menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan.
Banyak orang akhirnya bertanya-tanya dengan bingung: kenapa negara bisa begitu lembut pada pencuri uang rakyat, tapi begitu keras pada rakyat kecil?
Masyarakat mungkin tidak semuanya memahami peraturan atau terminologi hukum, tetapi mereka merasakan langsung dampak buruk korupsi: pelayanan publik yang buruk, ketimpangan sosial, hingga rusaknya infrastruktur. Oleh karena itu, reaksi keras publik terhadap pengampunan bagi koruptor tidak bisa dipandang sebagai luapan emosional semata. Sebaliknya, itu adalah bentuk resistansi hukum yang sadar terhadap ketidakadilan yang dipelihara oleh sistem.
Bahwa dalam percakapan sehari-hari pun, sering terdengar keluhan dari sopir ojek, pedagang pasar, atau pegawai kecil, mereka bukan ahli hukum, tapi mereka tahu kapan mereka diperlakukan tidak adil.
Hanya karena suatu kebijakan sah secara hukum, bukan berarti masyarakat akan menerimanya sebagai sesuatu yang benar secara moral. Dalam negara demokrasi, legitimasi hukum tidak hanya bergantung pada prosedur formal, tetapi juga pada rasa keadilan substantif yang dirasakan oleh masyarakat. Tanpa itu, hukum berisiko menjadi sekadar instrumen kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat.**
Penulis : Abdi Persada Daim
Pengacara