Kritik Bukan Tolol: Ketegangan Antara Pemilih dan Terpilih
Faktamuaraenim.com – Belakangan ruang publik nasional diramaikan oleh berita rakyat meluapkan keberatan atas kenaikan pajak di Bone dan Pati. Keberatan itu justru dibalas dengan sikap keras, memicu kerusuhan, bahkan melahirkan wacana pemakzulan. Di tengah situasi panas tersebut, seorang anggota DPR menanggapi seruan massa untuk “membubarkan DPR” dengan kalimat yang menampar: “mental orang tolol sedunia.”
Sedikit mengingatkan: sejarah bangsa ini mencatat bahwa pembubaran lembaga legislatif bukanlah hal asing. Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Setahun kemudian, melalui Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, Soekarno juga membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 setelah menolak RAPBN, lalu menggantinya dengan DPR-GR yang seluruh anggotanya ditunjuk oleh Presiden. Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001 juga pernah mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi pembekuan MPR/DPR. Meskipun dekrit tersebut gagal dijalankan dan justru menjadi dasar Sidang Istimewa MPR yang mengakhiri masa jabatannya, peristiwa itu menunjukkan bahwa kritik terhadap DPR bukan fenomena baru. Gus Dur bahkan menyebut DPR kala itu tak ubahnya “taman kanak-kanak.”
Dari pengalaman sejarah itu, jelas bahwa wacana pembubaran DPR bukanlah sekadar omongan kosong. Namun, di balik hiruk-pikuk politik, yang lebih penting adalah melihat bagaimana konstitusi mengatur kebebasan berpendapat dalam hubungan antara pemilih (warga negara) dan terpilih (pejabat publik).
Mari kita luruskan ketegangan ini. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak mengeluarkan pendapat. Kritik terhadap kebijakan publik, termasuk kenaikan pajak, adalah hak yang sah. Rakyat membayar pajak, rakyat yang merasakan beban hidup, maka rakyat pula yang paling berhak bersuara. Bahkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan: kedaulatan berada di tangan rakyat. Benar, kebebasan berpendapat ada batasnya. Pasal 28J UUD 1945 mengingatkan, hak harus dijalankan dengan menghormati hak orang lain dan kepentingan umum.
Anggota DPR memang punya hak bicara sebagaimana dijamin Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Tapi hak itu tidak berdiri sendiri. Pasal 81 huruf f UU MD3 mewajibkan mereka menjaga norma, tata susila, dan martabat. Dengan kata lain: bebas bicara iya, tapi bukan bebas menghina.
Dalam kerangka hukum itulah letak tegangan demokrasi: pemilih menyampaikan kritik adalah wajar, bahkan sehat; sedangkan terpilih seharusnya merespons dengan argumentasi, bukan caci maki. Kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi seharusnya menciptakan ruang dialog, bukan jurang penghinaan.
Demokrasi hanya bertahan bila pemilih dihormati dan terpilih rendah hati. Jika yang terjadi sebaliknya, jangan salahkan rakyat bila esok hari mereka benar-benar bertanya: “untuk apa kita punya DPR?”.**
Penulis : Abdi Persada (Advokat)