Demonstrasi sebagai Upaya Hukum Jalanan atas Kebijakan Tanpa Kepatutan
Faktamuaraenim.com – Di depan Gedung DPR/MPR RI, ribuan rakyat—mahasiswa, buruh, hingga pelajar—menyuarakan kemarahan atas kenaikan tunjangan rumah anggota DPR senilai Rp50 juta per bulan. Aksi yang semula damai berubah ricuh saat sebagian demonstran terlibat benturan dengan aparat. Fenomena ini jelas bukan sekadar protes spontan; ini merupakan upaya moral kolektif, sebagai reaksi terhadap kebijakan publik yang, meskipun sah secara hukum, kehilangan standar kepatutan dan moralitas.
Secara prosedur, kenaikan tunjangan diberikan untuk mengganti fasilitas rumah dinas yang telah dikembalikan ke negara, dan tidak ada kenaikan gaji pokok anggota dewan. Namun, jika dibandingkan, tunjangan puluhan juta bagi wakil rakyat kontras dengan kondisi ekonomi masyarakat, menimbulkan persepsi ketimpangan yang tidak adil di mata rakyat. Demonstrasi pun menjadi cara publik menyuarakan ketidakpatutan ini, seolah jalanan menjadi sarana upaya hukum moral ketika mekanisme koreksi formal tidak memadai. Persoalan ini sejatinya memiliki kemiripan dengan logika putusan pengadilan, di mana legitimasi tidak hanya bertumpu pada formalitas prosedur, tetapi juga pertimbangan moral.
Dalam ranah yudikatif, pertimbangan atau alasan (ratio decidendi) merupakan inti legitimasi putusan hakim. Meskipun sah secara formal, jika pertimbangan moral dan kepatutan tidak memadai, pihak yang dirugikan dapat mengajukan upaya hukum, seperti banding atau kasasi. Analogi ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tanpa gagasan moral, meskipun sah secara prosedur, tetap kehilangan legitimasi. Sebagaimana disampaikan Artidjo Alkostar, yang lebih tinggi di atas hukum ialah kepantasan dan moral. Sejalan dengan itu, Gustav Radbruch menegaskan bahwa hukum tanpa keadilan bukanlah hukum yang layak ditaati. Prinsip-prinsip inilah yang seharusnya menjadi ukuran dalam menilai legitimasi kebijakan publik, bukan hanya putusan hakim.
Kebijakan yang sah secara prosedur tetapi kehilangan kepatutan bagaikan kapal berlayar di laut tenang tanpa kompas—bergerak, tetapi berisiko salah arah dan karam. Jika legalitas formal dianggap cukup, mengapa jalanan tetap dipenuhi rakyat yang menuntut keadilan? Demonstrasi bukan sekadar luapan emosi, melainkan koreksi moral yang tak bisa diabaikan, alarm etis bagi pengambil kebijakan bahwa hukum saja tidak cukup tanpa kepatutan.
Negara perlu mengoreksi gelombang protes ini. Setiap kebijakan publik harus diperkaya dengan gagasan moral dan kepatutan, disosialisasikan secara transparan, serta melibatkan kajian ahli dan partisipasi masyarakat. Dengan begitu, legalitas formal akan bersanding dengan legitimasi moral. Tanpa itu, demonstrasi akan terus menjadi “upaya hukum jalanan”—sebuah pengadilan terakhir rakyat untuk menegakkan keadilan publik.
Penulis : Abdi Persada (Advokasi)